Читать книгу: «Penjelmaan», страница 4

Шрифт:

Bab Empat

Caitlin berada di awan sembilan saat ia berjalan pulang dari sekolah, mencengkeram buku hariannya. Ia tidak pernah sebahagia ini. Kata-kata Jonah terulang kembali dalam kepalanya.

"Ada konser malam ini. Di Carnegie Hall. Aku telah mendapatkan dua tiket gratis. Itu adalah kursi terjelek di gedung itu, tapi penyanyinya dianggap luar biasa."

"Apa kau mengajakku keluar?" katanya, tersenyum.

Dia balas tersenyum.

"Jika kau tidak keberatan pergi dengan benjolan memar ini," katanya, kembali tersenyum. "Selain itu, ini adalah malam Jumat."

Ia langsung bergegas pulang, tidak mampu menahan kegembiraannya. Ia tidak tahu apapun tentang musik klasik - ia bahkan tidak pernah benar-benar mendengarkan musik itu sebelumnya - tapi ia tidak peduli. Ia akan pergi ke mana pun bersamanya.

Carnegie Hall. Dia mengatakan pakaian yang indah. Apa yang akan ia kenakan? Ia memeriksa jam tangannya. Ia tidak akan punya banyak waktu untuk ganti baju jika ia akan menemuinya di kafe itu sebelum konser. Ia mempercepat langkahnya.

Sebelum ia menyadarinya, ia sampai di rumah, dan bahkan kehambaran bangunannya tidak membuatnya surut. Ia menaiki lima anak tangga dan bahkan hampir tidak merasakannya sambil berjalan ke apartemen barunya.

Teriakan Ibunya segera saja datang: "Kau perempuan sialan!"

Caitline menghindar tepat pada waktunya, ketika Ibunya melempar sebuah buku ke wajahnya. Buku itu melayang melewatinya, dan menghantam dinding.

Sebelum Caitlin bisa berbicara, ibunya menyerang - kukunya, ditujukan tepat ke wajahnya.

Caitlin mengulurkan tangan dan menangkap pergelangan tangannya tepat pada waktunya. Ia terbelit dengan Ibunya, ke arah belakang dan depan.

Caitlin bisa merasakan kekuatan barunya bergelombang melalui pembuluh darahnya, dan ia merasa bahwa ia bisa melempar ibunya ke seberang ruangan bahkan tanpa berusaha. Tapi ia menghendaki dirinya untuk mengendalikannya, dan ia mendorong liburnya, namun hanya cukup keras untuk mengirimkannya ke atas sofa.

Ibunya, di sofa, tiba-tiba meledak dalam tangisan. Dia duduk di sana, terisak.

"Itu adalah salahmu!" teriaknya dia antara isakannya.

"Apa yang salah denganmu?" Caitlin balas berteriak, benar-benar tanpa perlindungan, tidak mempunyai gagasan apa yang sedang terjadi. Bahkan bagi Ibunya, ini adalah tingkah laku yang gila.

“Sam.”

Ibunya mengeluarkan selembar kertas catatan.

Jantung Caitlin berdegup ketika ia mengambilnya, sebuah perasaan ngeri membasahi seluruh dirinya. Apapun itu, ia tahu itu bukan hal yang bagus.

"Dia pergi!"

Caitlin mengamati catatan tulisan tangan itu. Ia tidak benar-benar konsentrasi ketika ia membaca, hanya mengambil penggalan kata - kabur...tidak ingin berada di sini...kembali dengan teman-temanku...jangan coba mencariku.

Tangannya gemetar. Sam telah melakukannya. Dia benar-benar pergi. Dan dia bahkan tidak menunggunya. Bahkan tidak menunggu untuk mengatakan perpisahan.

"Itu karena kau!" maki Ibunya.

Sebagian diri Caitlin tidak dapat memercayainya. Ia berlari menyusuri apartemen itu, membuka pintu kamar Sam, setengah mengharapkan menemukan dia di sana.

Tapi kamar itu kosong. Bersih. Tidak satu benda pun tersisa. Sam tidak pernah meninggalkan kamarnya sebersih ini. Itu sungguhan. Dia sudah pergi.

Caitlin merasakan kemarahan naik ke tenggorokannya. Ia tidak bisa menahan perasaan bahwa saat ini Ibunya benar, bahwa ini adalah kesalahannya. Sam telah bertanya padanya. Dan ia telah berkata, "Pergi."

Pergi. Mengapa dia harus mengatakan hal itu? Ia berencana untuk meminta maaf, menariknya kembali, tapi dia telah pergi ketika ia bangun. Ia baru akan berbicara padanya ketika ia pulang hari ini. Tapi sekarang sudah terlambat.

Ia tahu ke mana dia pergi. Hanya ada satu tempat yang ingin dia datangi: kota terakhir mereka. Dia akan baik-baik saja. Lebih bauk, mungkin, dibandingkan dia berada di sini. Dia punya teman di sana. Semakin memikirkannya, semakin berkurang kekhawatirannya. Faktanya, ia bahagia untuknya. Dia akhirnya melakukannya. Dan ia tahu cara untuk melacaknya.

Tapi ia akan berurusan dengan hal ini nanti. Ia melirik jam tangannya dan menyadari ia terlambat. Ia berlari menuju kamarnya, segera menyambar pakaian dan sepatu terbaik yang ia miliki, dan melemparkannya semua dalam sebuah tas olahraga. Ia harus pergi tanpa riasan. Tidak ada waktu.

"Mengapa kau harus menghancurkan semua yang kau sentuh?" teriak Ibunya, sekarang tepat di belakangnya. "Aku seharusnya tidak pernah mengadopsimu!"

Caitlin balas memandang, terkejut.

"Apa yang kau katakan!?"

"Itu benar," lanjut Ibunya. "Aku mengadopsimu. Kau bukan anakku. Kau tidak pernah menjadi anakku. Kau adalah anaknya. Kau bukan anak perempuanku yang sebenarnya. Apa kau dengar!? Aku malu memilikimu sebagai seorang anak perempuan!"

Caitlin bisa melihat kebencian di mata hitamnya. Ia tidak pernah melihat Ibunya marah besar seperti ini. Matanya menyimpan rasa membunuh.

"Mengapa kau harus menyingkirkan satu-satunya hal yang indah dalam hidupku!?" Ibunya berteriak.

Kali ini Ibunya menyerangnya dengan kedua tangan terulur di depan, dan mengarah tepat ke lehernya. Sebelum Caitlin dapat bereaksi, ia telah dicekik. Dengan kuat.

Caitlin berjuang untuk bernapas. Tapi cengkraman Ibunya sangat kuat. Benar-benar bermaksud membunuh.

Amarah melanda Caitlin, dan kali ini ia tidak dapat menghentikannya. Ia bisa merasakan rasa panas yang familier, dimulai di ujung jari kakinya, dan menjalar ke atas menuju lengan dan bahunya. Ia membiarkan amarah menyelimutinya. Ketika hal itu terjadi, otot-otot dalam lehernya menggembung. Tanpa melakukan apapun, cengkraman Ibunya melonggar.

Ibunya pasti telah melihat perubahan itu dimulai, karena tiba-tiba dia terlihat takut. Caitlin mengempaskan kepalanya ke belakang dan meraung. Ia telah berubah menjadi sesuatu yang menakutkan.

Ibunya melepaskan cengkramannya, dan mengambil satu langkah mundur dan menatapnya, mulutnya ternganga.

Caitlin menggapai dengan satu tangan dan mendorongnya, dan dia melayang ke belakang dengan semacam kekuatan yang melemparkannya melewati dinding, menghancurkannya dengan sebuah pukulan, dan menuju ruangan lainnya. Dia terus melaju, menubruk ke dinding lainnya, dan jatuh, tidak sadarkan diri.

Caitlin terengah-engah, mencoba untuk melihat dengan jelas. Ia memeriksa apartemen itu, bertanya pada dirinya sendiri apakah ada benda lain yang ingin ia bawa. Ia tahu ada sesuatu, tapi ia tidak dapat berpikir dengan jernih. Ia meraih tas olahraga berisi pakaian, dan berjalan keluar dari kamarnya, melalui puing-puing, melewati ibunya.

Ibunya terbaring di sana, merintih, telah mulai duduk.

Caitlin terus berjalan, keluar dari apartemen.

Itu adalah terakhir kalinya, ia bersumpah, ia akan menjumpainya lagi.

Bab Lima

Caitlin berjalan dengan cepat dalam bulan Maret yang dingin menuju ke sisi jalan, jantungnya masih berdegup akibat peristiwa dengan ibunya. Hawa dingin menyengat wajahnya, dan terasa nyaman. Menenangkan. Ia mengambil napas dalam-dalam, dan merasa bebas. Ia tidak akan pernah kembali ke apartemen itu lagi, tidak pernah menelusuri kembali langkah-langkah kotor itu. Tidak pernah harus melihat lingkungan ini. Dan tidak perlu melangkahkan kaki ke sekolah itu. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, tapi setidaknya jauh dari sini.

Caitlin mencapai jalan dan mendongak, mencari taksi kosong. Setelah satu menit atau lebih menunggu, ia menyadari bahwa ia tidak akan mendapatkannya. Kereta bawah tanah adalah satu-satunya pilihan.

Caitlin berjalan menuju stasiun Jalan no.135. Ia tidak pernah naik kereta bawah tanah Kota New York sebelumnya. She wasn’t really sure which line to take, or where to get off, and this was the worst time to experiment. She dreaded what she might encounter down in the station on a cold, March night—especially in this neighborhood.

She descended the graffiti-lined steps and approached the booth. Untungnya, ada petugasnya.

"Saya harus pergi ke Columbus Circle," kata Caitlin.

Petugas gemuk di belakang konter kaca itu mengabaikannya.

"Permisi," kata Caitlin, "tapi saya harus -"

"Aku bilang di peron!" tukas wanita itu.

"Tidak, Anda tidak mengatakannya," jawab Caitlin. "Anda tidak mengatakan apapun!"

Petugas itu mengabaikannya lagi.

"Berapa harganya?"

"Dua lima puluh," tukas petugas itu.

Caitlin merogoh dompetnya dan mengeluarkan tiga lemabaran dolar yang lecek. Dia mengangsurkannya di bawah kaca.

Petugas itu, masih mengabaikannya, mengangsurkan kartu Metro.

Caitlin menggesekkan kertu dan memasuki sistem.

Peron itu temaram, hanpir kosong. Dua orang tunawisma menempati bangku, terbungkus selimut. Yang satu tidur, tapi yang lain memandangi ia ketika ia berjalan. Dia mulai menggumam. Caitlin berjalan lebih cepat.

Ia menuju ke ujung peron dan mencondongkan tubuh, mencari-cari kereta. Tidak ada.

Ayolah. Ayolah.

Ia melirik jam tangannya lagi. Sudah terlambat lima menit. Ia bertanya-tanya berapa lama lagi ia harus menunggu. Ia bertanya-tanya apakah Jonah sudah pergi. Ia tidak bisa menyalahkan dia.

Ia menyadari sesuatu bergerak dengan cepat di sudut matanya. Ia berpaling. Tidak ada.

Ketika ia melihat lebih dekat, ia rasa ia melihat sebuah bayangan merayap di sepanjang lantai putih itu, dinding linoleum, kemudian menyelinap ke dalam jalur kereta api. Ia merasa seolah-olah ia sedang diawasi.

Tapi ia mencari lagi dan tidak melihat apapun.

Aku pasti melihat sesuatu.

Caitlin berjalan mendekati peta kereta bawah tanah yang besar. Peta itu tergores dan robek serta tertutup grafiti, tapi ia masih bisa melihat jalur kereta bawah tanah. Paling tidak ia ada di tempat yang benar. Kereta itu seharusnya membawanya tepat menuju Columbus Circle. Ia mulai merasa sedikit lebih baik.

"Kau tersesat, sayang?"

Caitlin berpaling dan melihat seorang pria hitam besar berdiri di depannya. Dia tidak bercukur, dan ketika dia menyeringai, ia melihat bahwa giginya hilang. Dia membungkuk terlalu dekat, dan ia bisa mencium bau napas yang mengerikan. Mabuk.

Ia mengelak dari dia dan berjalan beberapa meter jauhnya.

"Hei jalang, aku bicara padamu!"

Caitlin terus berjalan.

Pria itu tampak tinggi, dan ia terhuyung-huyung dan bergoyang saat ia perlahan-lahan menuju ke arahnya. Tapi Caitlin berjalan jauh lebih cepat, dan itu adalah sebuah peron yang panjang, sehingga masih ada jarak di antara mereka. Ia benar-benar ingin menghindari konfrontasi lain. Tidak di sini. Tidak sekarang.

Dia semakin mendekat. Ia bertanya-tanya berapa lama kereta itu akan sampai ia tidak punya pilihan selain menghadapinya. Tolong, Tuhan, keluarkan aku dari sini.

Saat itu, suara memekakkan telinga memenuhi stasiun, dan kereta tiba-tiba datang. Terima kasih, Tuhan.

Ia naik, dan menyaksikan dengan kepuasan ketika pintu tertutup di depan pria itu. Dalam keadaan mabuk, dia mengutuk dan menggedor pintu logam.

Kereta berangkat, dan saat itu dia tidak dia tampak kabur. Ia sedang dalam perjalanan keluar dari lingkungan ini. Dalam perjalanan menuju kehidupan baru.

*

Caitlin keluar di Columbus Circle dan berjalan dengan langkah cepat. Ia memeriksa jamnya lagi Ia terlambat 20 menit. Ia menelan ludah

Tolong tetap di sana. Tolong jangan pergi. Tolong.

Saat ia berjalan, hanya beberapa blok jauhnya, ia tiba-tiba merasakan sengatan di perutnya. Ia berhenti, terkejut dengan rasa sakit yang hebat.

Ia membungkuk, mencengkeram perutnya, tak bisa bergerak. Ia bertanya-tanya apakah orang-orang menatapnya, tapi ia terlalu sakit untuk peduli. Ia belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Ia berusaha untuk bernapas.

Orang-orang berlalu dengan cepat di kedua sisi, tapi tidak ada yang berhenti untuk memeriksa apakah ia baik-baik saja.

Setelah sekitar satu menit, ia akhirnya, perlahan-lahan, kembali berdiri. Rasa sakit itu mulai mereda.

Ia menarik napas dalam, bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi.

Ia mulai berjalan lagi, menuju ke arah kafe. Tapi ia sekarang merasa benar-benar bingung. Dan sesuatu yang lain....Rasa lapar. Itu bukan rasa lapar yang normal, tapi haus tak terpadamkan yang mendalam. Ketika seorang wanita berjalan melewatinya, berjalan dengan anjingnya, Caitlin melihat dirinya berbalik dan menatap hewan itu. Ia mendapati dirinya menjulurkan lehernya dan memperhatikan hewan itu berjalan melewatinya, dan menatap lehernya.

Yang mengejutkan, ia bisa melihat rincian pembuluh darah pada kulit anjing itu, darah mengalir melewatinya. Ia mengamati detak jantung melalui darah, dan ia merasakan sensasi mati rasa dan tumpul di giginya sendiri. Ia ingin darah anjing itu.

Seolah-olah merasakan dirinya sendiri diawasi, anjing itu berpaling sambil berjalan, dan menatap dengan ketakutan pada Caitlin. Anjing itu menggeram, dan lari. Pemilik anjing berbalik dan menatap Caitlin, tidak mengerti.

Caitlin terus berjalan. Ia tidak bisa mengerti apa yang terjadi padanya. Ia menyukai anjing. Ia tidak pernah ingin menyakiti binatang, apalagi lalat. Apa yang terjadi padanya?

Rasa lapar itu hilang secepat rasa itu datang, dan Caitlin merasakan dirinya kembali normal. Ketika ia berbelok di ujung jalan, kafe itu mulai terlihat, dan ia mempercepat langkahnya, terengah-engah, dan hampir merasakan dirinya sendiri lagi. Ia memeriksa jamnya. Terlambat 30 menit. Ia berdoa semoga dia ada di sana.

Ia membuka pintu. Jantungnya berdebar-debar, kali ini bukan dari rasa sakit, tapi dari rasa takut bahwa Jonah akan pergi.

Caitlin dengan cepat mengamati tempat itu. Ia berjalan dengan cepat, kehabisan napas, dan sudah merasa mencolok. Ia bisa merasakan semua mata pada dirinya, dan mengamati deretan pengunjung di sebelah kiri, dan di sebelah kanannya. Tapi tidak ada tanda-tanda Jonah. Hatinya mencelos. Dia pasti telah pergi.

“Caitlin?”

Caitlin memutar tubuhnya. Di sana, tersenyum, berdirilah Jonah. Ia merasakan hatinya membengkak dengan sukacita.

"Maafkan aku," katanya terburu-burur. "Aku biasanya tidak pernah terlambat. Aku hanya - hanya -"

"Tidak apa," kata Jonah, dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Caitlin. "Jangan khawatir tentang itu, sungguh. Aku hanya senang kau baik-baik saja," tambahnya.

Ia memandangi mata hijaunya yang tersenyum, terbingkai oleh wajah yang masih memar dan bengkak, dan untuk pertama kalinya pada hari itu, ia merasa damai. Ia merasakan bahwa semua hal bisa baik-baik saja.

"Satu-satunya masalah adalah, kita tidak punya banyak waktu jika kita ingin melihat konser itu," ujarnya. "Kita hanya terlambat sekitar lima menit. Jadi aku rasa kita akan minum kopi itu lain waktu."

"Tidak apa," katanya. "Aku hanya sangat gembira kita tidak melewatkan konser itu juga. Aku merasa seperti seorang -"

Caitlin tiba-tiba melihat ke bawah dan merasa ngeri menyadari bahwa ia masih mengenakan pakaian biasa. Ia masih memegangi tas olahraganya yang berisi pakaian dan sepatu terbaiknya. Ia bermaksud sampai di kafe lebih awal, menyelinap ke kamar mandi, berganti pakaian yang bagus, dan siap untuk bertemu Jonah. Sekarang ia berdiri di sana, berhadapan dengannya, berpakaian seperti orang yang sembrono, dan menggenggam tas olahraga. Pipinya memerah. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.

"Jonah, aku sangat menyesal aku berpakaian seperti ini," katanya. "Aku bermaksud untuk ganti baju sebelum aku datang, tetapi ... Apakah kau mengatakan bahwa kita memiliki waktu lima menit?"

Dia melihat jam tangannya, kilatan keprihatinan melintasi wajahnya.

"Ya, tapi -"

"Aku akan segera kembali," katanya, dan sebelum dia bisa menjawab, ia berlari melalui restoran, menuju kamar mandi.

Caitlin menghambur ke kamar mandi dan menguncinya di belakangnya. Ia menarik lepas tas olahraga dan menarik keluar semua pakaian bagusnya, yang kini kusut. Ia melepaskan pakaian dan sepatu kets, dan cepat-cepat memakai rok beludru hitam, dan blus sutra putih. Ia juga mengambil anting-anting berlian imitasi dan memakainya. Harganya memang murah, tapi cocok. Ia merampungkan pakaiaan itu dengan sepatu bertumit tinggi hitam.

Ia berkaca. Ia agak sedikit kusut, tidak seburuk yang ia bayangkan. Blusnya sedikit terbuka menunjukkan salib perak kecil yang masih ia kenakan di lehernya. Ia tidak punya waktu untuk riasan, tapi setidaknya ia berdandan. Ia dengan cepat mengangsurkan tangannya di air dan mengusap rambutnya, menempatkan beberapa helai pada tempatnya. Ia melengkapi dandanannya dengan tas tangan kulit hitamnya.

Ia baru saja hendak bergegas keluar, ketika ia menyadari timbunan baju lama dan sepatu ketsnya. Ia termangu, bimbang. Ia sungguh-sungguh tidak ingin membawa baju-baju itu bersamanya di penghujung malam itu. Sesungguhnya, ia bahkan tidak pernah ingin mengenakan baju-baju itu lagi.

Ia mengambil semua bajunya dalam sebuah gumpulan, dan dengan sangat puas ia menjejalkannya ke dalam tong sampah di pojok ruang itu. Kini ia mengenakan satu-satunya pakaiannya yang tersisa di dunia.

Ia merasa senang berjalan menuju hidup barunya dengan berpakaian seperti ini.

Jonah menunggunya di luar kafe, mengetukkan kakinya, melirik jam tangannya. Ketika ia membuka pintu, dia berputar, dan ketika dia melihatnya, berpakaian rapi, dia membeku. Dia memandanginya, tidak dapat berkata apa-apa.

Caitlin tidak pernah melihat seorang laki-laki memandanginya seperti itu sebelumnya. Ia tidak pernah benar-benar merasakan dirinya menarik. Cara Jonah memandanginya membuatnya merasa...spesial. Itu membuatnya merasa, untuk pertama kalinya, seperti seorang wanita.

"Kau...terlihat cantik," katanya dengan lembut.

"Terima kasih," ujarnya. Kau juga tampan, ia ingin menjawab, tapi ia menahannya.

Dengan kepercayaan diri yang baru ditemukannya, ia berjalan bersamanya, menyelipkan tangannya ke dalam lengan Jonah, dan dengan lembut membimbing menuju Carnegie Hall. Dia berjalan bersamanya, mempercepat langkah, meletakkan tangannya yang bebas di atas tangannya.

Rasanya nyaman berada dalam lengan laki-laki. Meskipun segala sesuatu yang telah terjadi hari itu, dan hari sebelumnya, Caitlin kini merasa seolah-olah ia sedang berjalan di udara.

Bab Enam

Carnegie Hall benar-benar penuh sesak. Jonah memimpin jalan karena mereka berjuang melalui kerumunan padat, menuju Will Call. Tidak mudah untuk menuju ke sana. Itu adalah kerumunan antrian orang kaya, dan semua orang tampak seperti mereka sedang terburu-buru untuk menghadiri konser. Ia tidak pernah melihat begitu banyak orang berpakaian bagus dalam satu tempat. Sebagian besar laki-laki mengenakan dasi hitam, dan para wanita mengenakan gaun malam panjang. Perhiasan berkilauan di mana-mana. Menyenangkan.

Jonah mendapat tiket dan membawanya menaiki tangga. Dia menyerahkan tiket pada penerima tamu, yang merobeknya dan menyerahkan kembali potongannya.

"Bolehkan aku menyimpan salah satunya?" tanya Caitlin, ketika Jonah akan memasukkan kedua potongan tiket itu ke dalam sakunya.

"Tentu saja," katanya, menyerahkan satu padanya.

Ia mengusap dengan ibu jarinya.

"Aku suka menyimpan hal-hal seperti ini," tambahnya, tersipu. "Sentimental, kurasa."

Jonah tersenyum, saat ia memasukkan ke saku depannya.

Mereka diarahkan oleh seorang petugas menyusuri lorong mewah dengan karpet merah yang tebal. Bingkai foto artis dan penyanyi berjajar di dinding.

"Jadi, bagaimana kau mendapatkan tiket gratis?" tanya Caitlin.

"Guru biolaku," jawabnya. "Dia punya tiket musiman. Dia tidak bisa datang malam ini, jadi dia berikan padaku. Aku harap itu tidak menjadi masalah karena aku tidak membayar tiket itu sendiri," tambahnya.

Ia memandanginya, bingung.

"Kencan kita," jawabnya.

"Tentu tidak," ujarnya. "Kau membawaku ke sini. Itu saja yang penting. Ini mengagumkan."

Caitlin dan Jonah diarahkan oleh penerima tamu lain ke sebuah pintu kecil, yang terbuka langsung ke ruang konser. Ruangan itu tinggi, mungkin 50 kaki, dan di daerah kotak kecil mereka hanya ada 10 atau 15 kursi. Kursi mereka berada tepat di tepi balkon, setinggi pembatasnya.

Jonah membuka kursi besar mewah untuknya, dan ia menatap kerumunan besar dan pada semua pemain. Itu adalah tempat yang elegan di mana ia pernah berada. Ia memandang lautan rambut kelabu, dan ia merasa 50 tahun terlalu muda untuk berada di sini. Tapi gembira di waktu yang sama.

Jonah duduk, dan siku mereka bersentuhan, dan ia merasakan sensasi kehangatan tubuhnya di sampingnya. Ketika mereka duduk di sana, menunggu, ia ingin meraih dan memegang tangannya, dan menggenggamnya. Tapi ia tidak ingin mengambil risiko dengan menjadi terlalu berani. Jadi ia duduk di sana, berharap bahwa dia akan mengulurkan tangan dan memegang tangannya. Dia tidak bergerak. Itu terlalu dini. Dan mungkin dia malu.

Sebaliknya, ia menunjuk, membungkuk ke pembatas.

"Pemain biola terbaik duduk paling dekat dengan bibir panggung," katanya, menunjuk. "Wanita yang ada di sana itu adalah salah satu yang terbaik di dunia."

"Pernahkan kau main di sini?" Tanya Caitlin.

Jonah tertawa. "Aku harap begitu," katanya. "Aula ini hanya 50 blok jauhnya dari kita, tapi mungkin juga menjadi planet yang jauh dalam hal bakat. Mungkin suatu hari," tambahnya.

Ia menatap panggung, pada ratusan pemain yang menyetel alat musik mereka. Mereka semua mengenakan dasi hitam, dan mereka semua tampak begitu serius, begitu terfokus. Di depan dinding belakang berdiri sebuah paduan suara besar.

Tiba-tiba, seorang pemuda, mungkin 20, dengan rambut panjang hitam yang tergerai, mengenakan tuksedo, melangkah dengan bangga ke panggung. Ia mengambil jalan pintas melewati lorong para pemain, menuju ke tengah. Ketika dia melakukannya, seluruh penonton bangkit berdiri dan bertepuk tangan.

"Siapa dia?" tanya Caitlin.

Dia sampai di tengah dan membungkuk berulang-ulang, tersenyum. Bahkan jauh dari sini, Caitlin melihat bahwa dia menarik secara mengejutkan.

“Sergei Rakov,” jawab Jonah. "Dia adalah salah satu penyanyi terbaik di dunia."

"Tapi dia kelihatan begitu muda."

"Itu bukan tentang umur, tapi ini tentang bakat." jawab Jonah. "Ada bakat, dan kemudian ada bakat. Untuk mendapatkan bakat semacam itu, kau harus terlahir dengan bakat itu - dan kau benar-benar harus berlatih. Bukan empat jam sehari, tapi delapan jam sehari. Setiap hari. Aku akan melakukannya jika bisa, tapi ayahku tidak mengijinkan."

"Kenapa tidak?"

"Dia tidak ingin biola menjadi satu-satunya hal dalam hidupku."

Ia bisa mendengar kekecewaan dalam suaranya.

Akhirnya, tepuk tangan mulai berhenti.

"Mereka memainkan Simfoni ke Sembilan Beethoven malam ini," kata Jonah. "Itu mungkin lagunya yang paling terkenal. Pernahkah kau mendengar itu sebelumnya?"

Caitlin menggelengkan kepalanya, merasa bodoh. Ia punya kelas musik klasik dulu di kelas sembilan, tapi ia hampir tidak mendengarkan kata gurunya. Ia tidak benar-benar memahaminya, dan mereka baru saja pindah, dan pikirannya sudah di tempat lain. Sekarang ia berharap dirinya dulu mau mendengarkan.

"Ini memerlukan orkestra besar," katanya, "dan paduan suara besar. Mungkin membutuhkan lebih banyak pemain di atas panggung dari hampir setiap bagian lain musik. Sungguh menarik untuk dilihat. Itulah mengapa tempat ini begitu penuh sesak."

Ia mengamati ruangan. Ada ribuan orang di sana. Dan tidak ada kursi yang kosong.

"Simfoni ini, itu adalah karya terakhir Beethoven. Dia sekarat, dan dia tahu itu. Dia menempatkannya ke dalam musik. Itu adalah suara kematian datang." Dia berpaling padanya dan tersenyum, meminta maaf. "Maaf karena menjadi begitu tidak wajar."

"Tidak, tidak apa-apa," katanya, dan bersungguh-sungguh. Ia senang mendengar dia berbicara. Ia menyukai suaranya. Ia menyukai apa yang dia ketahui. Semua teman-temannya memiliki percakapan yang paling dangkal, dan ia ingin sesuatu yang lebih. Ia merasa beruntung bersama dengannya.

Ada begitu banyak yang ingin ia katakan kepada Jonah, begitu banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan - tapi lampu tiba-tiba redup dan keheningan menghampiri penonton. Pertanyaan itu harus menunggu. Ia bersandar dan menyemankan diri.

Ia menunduk dan yang mengejutkannya, ada tangan Jonah. Ia menaruhnya di sandaran tangan di antara mereka, telapak menghadap ke atas, mengundang tangannya. Ia mengulurkan tangan, perlahan-lahan, agar tidak tampak terlalu putus asa, dan menempatkan tangannya di dalam tangannya. Tangannya lembut dan hangat. Ia merasa tangannya meleleh di dalamnya.

Ketika orkestra mulai dan nada pertama yang dimainkan - nada merdu lembut yang menenangkan - ia merasakan gelombang kebahagiaan mengaliri seluruh tubuhnya, dan menyadari bahwa ia tidak pernah begitu bahagia. Ia melupakan semua peristiwa sehari sebelumnya. Jika ini adalah suara kematian, ia ingin mendengar lebih banyak.

*

Ketika Caitlin duduk di sana, tersesat dalam musik, bertanya-tanya mengapa ia tidak pernah mendengar itu sebelumnya, bertanya-tanya berapa lama ia bisa membuat kencannya dengan Jonah bertahan, hal itu terjadi lagi. Rasa sakit itu tiba-tiba melanda. Rasa itu memukulnya di perut, seperti itu di jalan tadi, dan butuh semua kekuatan hatinya untuk mempertahankan diri dari membungkuk di depan Jonah. Ia mengertakkan gigi diam-diam, dan berusaha untuk bernapas. Ia bisa merasakan keringat keluar di dahinya.

Rasa pedih lainnya.

Kali ini ia menjerit kesakitan, hanya sedikit, cukup untuk nyaris tidak terdengar di atas musik, yang mencapai puncaknya. Jonah pasti mendengar, karena ia berpaling dan menatapnya, khawatir. Dia perlahan meletakkan tangannya di bahu Caitlin.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Jonah.

Ia tidak baik-baik saja. Rasa sakit melandanya. Dan sesuatu yang lain: lapar. Ia merasa benar-benar lapar. Ia tidak pernah begitu kewalahan oleh sensasi seperti itu dalam hidupnya.

Ia melirik Jonah, dan matanya langsung mengarah ke lehernya. Ia terpaku pada denyutan dari pembuluh darahnya, mengalir seperti itu dari telinganya ke bawah menuju tenggorokannya. Ia menyaksikan denyutan itu. Ia menghitung detak jantungnya.

"Caitlin?" tanya Jonah lagi.

Hasrat itu luar biasa. Ia tahu bahwa jika ia duduk di sana bahkan untuk satu detik lagi, ia tidak akan mampu untuk mengendalikan diri. Jika dibiarkan tak terkendali, ia pasti akan membenamkan giginya ke leher Jonah.

Dengan sisa kekuatannya, Caitlin tiba-tiba berdiri dari kursinya, melewati Jonah dalam satu lompatan cepat, dan berlari menaiki tangga, menuju pintu.

Pada saat yang sama, lampu di ruang tiba-tiba terang-benderang, ketika orkestra memainkan nada terakhirnya. Istirahat. Seluruh penonton berdiri, bertepuk tangan keras.

Caitlin mencapai pintu keluar beberapa detik sebelum sekumpulan orang bisa keluar dari tempat duduk mereka.

“Caitlin!?” Jonah berteriak dari suatu tempat di belakangnya. Dia mungkin bangun dari tempat duduknya dan mengikutinya.

Ia tidak bisa membiarkan dia melihatnya seperti ini. Yang lebih penting lagi, ia tidak bisa membiarkan dia di mana saja di dekatnya. Ia merasa seperti binatang. Ia menyusuri lorong-lorong kosong Carnegie Hall, berjalan lebih cepat dan lebih cepat, ia berlari dengan sangat cepat.

Sebelum ia mengetahuinya, ia berjalan pada kecepatan yang mustahil, merobek melalui lorong berkarpet. Ia adalah binatang yang memburu mangsanya. Ia membutuhkan makanan. Ia cukup menyadari bahwa ia harus menjauhkan dirinya dari sekelompok orang itu. Cepat.

Ia menemukan pintu keluar dan menempatkan bahunya di situ. Pintu itu terkunci, tapi ia bersandar pada pintu itu dengan kekuatan yang sedemikian rupa sehingga engselnya patah.

Ia mendapati dirinya di tangga pribadi. Ia berlari menuruni tangga, melangkahi tiga sekaligus, sampai ia tiba di pintu yang lain. Ia menaruh bahunya di pintu itu juga, dan menemukan dirinya berada di sebuah lorong baru.

Lorong ini bahkan lebih eksklusif, dan lebih kosong, daripada yang lain. Bahkan dalam keremangan, ia tahu bahwa ia telah tiba di semacam daerah belakang panggung. Ia berjalan menyusuri lorong, membungkuk kesakitan karena kelaparan, dan tahu bahwa ia tidak dapat bertahan satu detik lebih lama.

Ia mengangkat telapak tangannya dan mendorongnya ke pintu pertama yang ia temukan, dan terbuka dengan satu dorongan. Itu adalah ruang ganti pribadi.

Duduk di depan cermin, mengagumi diri sendiri, adalah Sergei. Penyanyi itu. Ini pasti ruang gantinya di belakang panggung. Entah bagaimana, ia sampai ke sini.

Dia berdiri, terganggu.

"Maaf, tapi tidak ada tanda tangan sekarang," tukasnya. "Penjaga keamanan seharusnya memberitahumu. Ini adalah waktu pribadiku. Sekarang, jika kau tidak keberatan, aku harus mempersiapkan diri."

Dengan raungan parau, Caitlin melompat tepat ke tenggorokannya, menenggelamkan giginya dalam-dalam.

Dia menjerit. Tapi itu sudah terlambat.

Giginya tenggelam dalam pembuluh darahnya. Ia minum. Ia merasa darahnya mengalir melalui pembuluh darahnya, merasa hasratnya mulai puas. Itu persis seperti apa yang ia butuhkan. Dan ia tidak bisa menunggu sedetik lagi.

Sergei merosot, tak sadarkan diri, ke kursinya, Caitlin bersandar, wajah berlumuran darah, dan tersenyum. Ia telah menemukan suatu rasa baru. Dan tidak ada yang akan menghalangi jalannya lagi.

Возрастное ограничение:
16+
Дата выхода на Литрес:
10 октября 2019
Объем:
152 стр. 4 иллюстрации
ISBN:
9781632911810
Правообладатель:
Lukeman Literary Management Ltd
Формат скачивания:
epub, fb2, fb3, ios.epub, mobi, pdf, txt, zip

С этой книгой читают

Новинка
Черновик
4,9
180